Saat akhir tahun 1990an mulai membosankan dan musik rock
mulai pudar, sebuah band dari Inggris membawa pesan besar kepada dunia musik,
dengan “rock and roll” yang mereka bawa, Libertines meludahi musik populer
dengan musik rock mereka yang mengagetkan, dimulai dari distorsi, ritme dan
melodi, lirik, hingga gaya mereka yang sangat menarik dan berkelas. Untuk para
pembaca simbiosis, saya akan memberikan sebuah cerita pendek atas sebuah band
rock yang menjadi salah satu napas terakhir untuk musik rock and roll berkelas
pada jaman moderen, walaupun sedikit berlebihan jika saya bilang bahwa mereka
adalah “napas terakhir atas rock and roll” tetapi The Libertines sendiri memang
diakui sebagai band revivalis, tepatnya pada genre punk/garage rock. Hadapi
sebuah kenyataan bahwa tidak banyak band yang bisa bikin anda jingkrak-jingkrak
tetapi di waktu bersamaan anda bisa merasakan betapa berkelasnya band itu. Coming
from a mind of a Libertines fan, here's the story of the great band that is The
Libertines.
The Libertines dibentuk pada tahun 1997 dan mulai terkenal pada awal
2000, Libertines merupakan sebuah band beranggotakan empat orang, dengan Pete
Doherty sebagai vokal puitis dan gitaris, yang kadang bermain harmonika,
menguatkan teori “sex, drugs, and rock
and roll” dengan “Kate Moss, Amy Winehouse, dan The Libertines.” Doherty
selalu ditemani dan membagi mikenya dengan teman frontmannya bernama Carl Barat
yang bernyanyi dan memberikan riff-riff gitar khas dengan Gibson Melody
Makernya. Mereka berdua memberikan “chemistry” yang baik di panggung, dengan
pendapat pribadi bahwa mereka berdua seperti layaknya versi moderen dan punk
dari John Lennon dan Paul Mccartney dari band bernama The Beatles. Kedua
gitaris tersebut memang merupakan sebuah simbol penting dalam band The
Libertines, akan tetapi dua gitar tersebut tidak akan lengkap tanpa suara dari
drum dan bass. Dengan drum oleh Gary Powell, seorang pria kulit hitam yang
tidak terlihat berbahaya, seringkali tidak menggunakan baju atasan, dan sering
tersenyum, memperlihatkan giginya. Sedangkan John Hassal memainkan bass gitar
berjalan dengan rapih tanpa senyuman maupun ekspresi yang berarti.
Pada awalnya Doherty dan Barat bertemu dalam Universitas
Brunel, saat pelajaran drama, semenjak itu drama menjadi sebuah kata yang tepat
untuk kedua tokoh ini, menjadi salah satu duo inggris yang terkenal dengan
persahabatan beserta pertengkarannya. Pada akhirnya mereka berdua membagi
tempat tinggal di jalan Camden, London Utara, terkenal dengan panggilan “The
Delaney Mansion.” Pada akhirnya mereka membentuk band The Libertines, sebelum
2001-2002 drum dan bass gitar band tersebut mengalami pergantian, dan pada
akhirnya tahun 2001 mereka mendapat rekaman oleh Rough Trade dengan drum dan
bass gitar dipegang oleh Powell dan Hassal.
The Libertines mengeluarkan dua buah album studio, yaitu Up the Bracket
(2002) dan The Libertines (2004), serta album the best mereka, berjudul Time
for Heroes (2007). Mereka terkenal dengan performa yang liar di panggung
layaknya band punk lainnya, dengan lagu mereka yang keras, suara gitar dengan
melodi bertabrakan, serta suara vokal doherty dan barat yang khas, meramaikan
scene Inggris dengan permainan dan musik mereka. Dalam pembuatan lagu, mereka
kadang dibantu oleh ikon-ikon inggris seperti gitaris Suede yaitu Bernard
Butler dan Mick Jones dari The Clash. Influence musik mereka sendiri beragam,
dari The Jam, The Smiths, bahkan Sex Pistols, dan The Clash. Bila kita dengar
musik mereka mempunyai nuansa punk rock dan garage dengan sentuhan lo fi dan
sebuah karakter khas folk Inggris-Perancis dari The Libertines.
Salah satu hal yang saya sukai dari mereka adalah
lagu-lagu yang beragam tetapi pada dasarnya garage atau punk, seperti Can’t
Stand Me Now, yang menjadi sebuah lagu dengan intro melodi spektakuler, ritme
sederhana dengan riff-riff gitar, hentakan drum, dan suara bass yang mendukung
sebuah komposisi keseluruhan lagu. Tidak dilupakan sebuah lirik pintar yang
mengangkat topik hubungan pertemanan dan narkoba, menjadikan lagu tersebut patut didengar.
Untuk lagu yang sedikit pelan dapat mendengarkan What Katie Did, Radio America,
dan Seven Deadly Sins. Untuk lagu keras kalian dapat mendengar Vertigo, The Boy
looked at Johnny, dan Up The Bracket. Atau bahkan lagu dengan gitar akustik
yang sederhana yang berkembang menjadi lagu kencang dengan melodi khas
Libertines berjudul music when the lights go out.
Libertines sempat bubar karena pertengkaran dan
permasalahan narkoba, kemudian pada tahun 2010 mereka melaksanakan konser reuni
dengan memainkan beberapa lagu lamanya di Reading and Leeds Festival. Konser
tersebut mendapatkan beberapa pujian dari pers dan penggemar atas penampilan
mereka yang luar biasa (ya benar saudara-saudara sepertinya Doherty mengurangi
penggunaannya terhadap narkoba). Tahun 2014 menjadi salah satu tahun terpenting karena mereka
kembali melakukan beberapa konser, dan akhirnya pada awal tahun 2015, mereka
mengumumkan album ketiganya! Long live the Libertines!
It's
either to the top of the world, or the bottom of a canal
-Rama Indirawan
0 comments on "Kisah Singkat Sebuah Band Bernama The Libertines"
Post a Comment