Sunday, April 12, 2015

Kisah Singkat Sebuah Band Bernama The Libertines



            Saat akhir tahun 1990an mulai membosankan dan musik rock mulai pudar, sebuah band dari Inggris membawa pesan besar kepada dunia musik, dengan “rock and roll” yang mereka bawa, Libertines meludahi musik populer dengan musik rock mereka yang mengagetkan, dimulai dari distorsi, ritme dan melodi, lirik, hingga gaya mereka yang sangat menarik dan berkelas. Untuk para pembaca simbiosis, saya akan memberikan sebuah cerita pendek atas sebuah band rock yang menjadi salah satu napas terakhir untuk musik rock and roll berkelas pada jaman moderen, walaupun sedikit berlebihan jika saya bilang bahwa mereka adalah “napas terakhir atas rock and roll” tetapi The Libertines sendiri memang diakui sebagai band revivalis, tepatnya pada genre punk/garage rock. Hadapi sebuah kenyataan bahwa tidak banyak band yang bisa bikin anda jingkrak-jingkrak tetapi di waktu bersamaan anda bisa merasakan betapa berkelasnya band itu. Coming from a mind of a Libertines fan, here's the story of the great band that is The Libertines.
            The Libertines dibentuk pada tahun 1997 dan mulai terkenal pada awal 2000, Libertines merupakan sebuah band beranggotakan empat orang, dengan Pete Doherty sebagai vokal puitis dan gitaris, yang kadang bermain harmonika, menguatkan teori “sex, drugs, and rock and roll” dengan “Kate Moss, Amy Winehouse, dan The Libertines.” Doherty selalu ditemani dan membagi mikenya dengan teman frontmannya bernama Carl Barat yang bernyanyi dan memberikan riff-riff gitar khas dengan Gibson Melody Makernya. Mereka berdua memberikan “chemistry” yang baik di panggung, dengan pendapat pribadi bahwa mereka berdua seperti layaknya versi moderen dan punk dari John Lennon dan Paul Mccartney dari band bernama The Beatles. Kedua gitaris tersebut memang merupakan sebuah simbol penting dalam band The Libertines, akan tetapi dua gitar tersebut tidak akan lengkap tanpa suara dari drum dan bass. Dengan drum oleh Gary Powell, seorang pria kulit hitam yang tidak terlihat berbahaya, seringkali tidak menggunakan baju atasan, dan sering tersenyum, memperlihatkan giginya. Sedangkan John Hassal memainkan bass gitar berjalan dengan rapih tanpa senyuman maupun ekspresi yang berarti.
            Pada awalnya Doherty dan Barat bertemu dalam Universitas Brunel, saat pelajaran drama, semenjak itu drama menjadi sebuah kata yang tepat untuk kedua tokoh ini, menjadi salah satu duo inggris yang terkenal dengan persahabatan beserta pertengkarannya. Pada akhirnya mereka berdua membagi tempat tinggal di jalan Camden, London Utara, terkenal dengan panggilan “The Delaney Mansion.” Pada akhirnya mereka membentuk band The Libertines, sebelum 2001-2002 drum dan bass gitar band tersebut mengalami pergantian, dan pada akhirnya tahun 2001 mereka mendapat rekaman oleh Rough Trade dengan drum dan bass gitar dipegang oleh Powell dan Hassal.
            The Libertines mengeluarkan dua buah album studio, yaitu Up the Bracket (2002) dan The Libertines (2004), serta album the best mereka, berjudul Time for Heroes (2007). Mereka terkenal dengan performa yang liar di panggung layaknya band punk lainnya, dengan lagu mereka yang keras, suara gitar dengan melodi bertabrakan, serta suara vokal doherty dan barat yang khas, meramaikan scene Inggris dengan permainan dan musik mereka. Dalam pembuatan lagu, mereka kadang dibantu oleh ikon-ikon inggris seperti gitaris Suede yaitu Bernard Butler dan Mick Jones dari The Clash. Influence musik mereka sendiri beragam, dari The Jam, The Smiths, bahkan Sex Pistols, dan The Clash. Bila kita dengar musik mereka mempunyai nuansa punk rock dan garage dengan sentuhan lo fi dan sebuah karakter khas folk Inggris-Perancis dari The Libertines.
            Salah satu hal yang saya sukai dari mereka adalah lagu-lagu yang beragam tetapi pada dasarnya garage atau punk, seperti Can’t Stand Me Now, yang menjadi sebuah lagu dengan intro melodi spektakuler, ritme sederhana dengan riff-riff gitar, hentakan drum, dan suara bass yang mendukung sebuah komposisi keseluruhan lagu. Tidak dilupakan sebuah lirik pintar yang mengangkat topik hubungan pertemanan dan narkoba,  menjadikan lagu tersebut patut didengar. Untuk lagu yang sedikit pelan dapat mendengarkan What Katie Did, Radio America, dan Seven Deadly Sins. Untuk lagu keras kalian dapat mendengar Vertigo, The Boy looked at Johnny, dan Up The Bracket. Atau bahkan lagu dengan gitar akustik yang sederhana yang berkembang menjadi lagu kencang dengan melodi khas Libertines berjudul music when the lights go out.
            Libertines sempat bubar karena pertengkaran dan permasalahan narkoba, kemudian pada tahun 2010 mereka melaksanakan konser reuni dengan memainkan beberapa lagu lamanya di Reading and Leeds Festival. Konser tersebut mendapatkan beberapa pujian dari pers dan penggemar atas penampilan mereka yang luar biasa (ya benar saudara-saudara sepertinya Doherty mengurangi penggunaannya terhadap narkoba). Tahun 2014 menjadi  salah satu tahun terpenting karena mereka kembali melakukan beberapa konser, dan akhirnya pada awal tahun 2015, mereka mengumumkan album ketiganya! Long live the Libertines!

It's either to the top of the world, or the bottom of a canal
-Rama Indirawan



Tweet This

0 comments on "Kisah Singkat Sebuah Band Bernama The Libertines"

Post a Comment