Menulis skripsi dan mandek hasilnya selalu saja membawa alam pikiran berkelana memikirkan hal-hal lain yang tak penting, lalu teringat salah satu pernyataan yang pernah beberapa kali dilontarkan dalam kurun beberapa perbincangan: “Kenapa musik X melulu yang muncul di radio/televisi/toko musik terdekat?” Jawaban simplistiknya tentu saja permintaan pasar, tapi apakah sekedar itu? Selalu saja ada kritik yang dilontarkan mengenai betapa tidak beragamnya musik di ranah lokal. Apakah ini sekedar hujatan tidak berdasar ataukah memang sesungguhnya terjadi? Dalam kenyataannya adalah musik yang lumayan memiliki bobot makna – baik secara musikalitas maupun secara lirikal – serta keberagaman yang cukup memberikan pilihan pernah berjaya di suatu masa lampau di tanah sama – membentang lautan tentunya – yang kita pijak kini. Beberapa argumentasi mengatakan bahwa pasar meluas dan semakin banyak kelas ekonomi tertentu yang perlu dirangkul oleh industri, namun tentu saja argumen ini dapat dienyahkan sebagai sekedar alasan menghina selera seseorang dengan mengatakannya miskin dan kampungan. Saya jelas-jelas tidak akan mencoba merendahkan lagi seseorang yang sudah cukup direndahkan semula jadinya di sini, tidak, saya mau berbagi – atau paling tidak membangun wacana – mengenai dampak HAKI (Hak Atas Kekayaan Intelektual) terhadap diversitas industri musik, khususnya di Indonesia tercinta ini.
Bagi yang masih belum mengikuti perkembangan jaman, kita sudah memasuki era digital, dalam artian semua sudah serba unduh, unggah, copy, paste, ceklak-ceklik (ini bunyi mouse, bukan suara shutter kamera, tapi pasti semua udah tau kan ya?). Yang berarti produksi – atau reproduksi – karya jauh lebih mudah; tracking, mixing, dan mastering kini tinggal menggunakan Cubase, Nuendo, Logic, atau ProTools bajakan (studio besar memakai yang asli tentunya) dengan pengetahuan sound engineering yang pas-pasan. Voila! CD master demo pun jadi dan tinggal dibawa ke seorang produser untuk mendapatkan ketenaran maksimal. Namun, sebelum mendapatkan ketenaran itu, pencipta karya tersebut (bisa jamak bisa tunggal) harus melewati filter sebelum mengeluarkan album termutakhir mereka. Filter ini biasanya berakhir dengan pencipta karya tersebut menulis sekitar 20an lagu yang hanya 3 (tiga) digunakan dalam album mutakhir itu dan sisanya di isi dengan “titipan”. Tentu ada jalan lain untuk mencapai ketenaran dan kekayaan yang cukup signifikan tanpa harus melewati proses yang sepertinya cukup memberatkan itu: RBT. Ya, Ring Back Tone (ada berapa hayo yang baru tau sekarang singkatannya).
Lalu apa peran HAKI disini? Lah opo to yo? Ora ono sing iso disambungken iki! Kenyataannya adalah royalti dari RBT yang dilindungi HAKI merupakan salah satu (salah satu loh ya! Bukan satu-satunya!) hal yang menghambat adanya revolusi dalam tenaga kerja kreatif musik untuk menciptakan variasi baru. Untuk apa menghabiskan tenaga untuk menulis materi lagu sepanjang 3 menit 42 detik hingga 5 menit 1 detik jika bisa memfokuskan 30 detik reff yang catchy dan diregister sebagai RBT yang setiap meregister mendapatkan mereka royalti. Dan kita baru membahas mengenai pencipta karyanya, bagaimana dengan produser, para label raksasa (bukan pecahan aksara records) maupun tidak terlalu raksaksa (namun bisa jadi pecahan aksara records) yang menggunakan HAKI ini untuk memonopoli hak cipta dari seniman-seniman yang bersangkutan. Bahwa segala karya yang dikeluarkan oleh seorang pencipta dimiliki oleh – jangka waktu tergantung kontrak – produser atau label yang menaunginya. Monopoli ini berakibat penumpukan modal yang luar biasa untuk label-label tertentu yang meningkatkan juga akses terhadap distribusi media yang mengakibatkan bagaimana sekarang ini industri sampai pada taraf mendiktekan apa yang dapat didengar oleh masyarakat melalui radio/televisi/toko musik terdekat.
Bukan berarti saya anti HAKI, karya perlu diproteksi tentunya, namun penggunaan abusive seperti ini menyakiti musik secara keseluruhan. Bagaimana seseorang akan sungguh-sungguh membawa karyanya ke arus utama apabila industri sendiri tidak lagi sungguh-sungguh. Tentu kita selalu bisa condong ke LSM (Label Swadaya Musik – barusan ngarang) yang normatifnya memberikan kita suguhan alternatif di belantika musik Indonesia, namun spasi itu hanya dapat diisi oleh sebagian tertentu yang biasanya memang sudah memiliki modal mereka sendiri dan tidak terlalu memikirkan kerugian finansial; art for the sake of art (baca: swadaya berarti mampu). Lalu kembali pada era ceklak-ceklik, dimana akses internet sudah tersebar luas secara nasional, hampir di seluruh pelosok tanah air. Kehadiran net-label, online shopping atau sejenis FJB kask.us bahkan (FJB= Forum Jual Beli gan/sis) di ranah lokal sudah menjamur yang berarti konten media dengan mudah disebar luaskan, diperjual belikan, dan dinikmati tanpa harus secara fisik mengedarkan dan memajang di etalase toko rekaman atau distro kesayangan anda. Disini sulit untuk mengatakan bahwa SSE (status sosial ekonomi) menjadi argumen bahwa hal ini sulit dilakukan karena metode ini justru menarik minat saya sejak bertukaran file audio band Seralola lewat Jamendo (yang hingga saat ini saudara Chandra yang berjanji akan menuliskan reviewnya belum-belum juga) dengan seorang anak SMA dari sebuah desa di Sungai Kakap, Kalimantan Barat.
Intinya adalah bahwa masa untuk mediasi antara seniman dan masyarakat sudah seharusnya berakhir, bahwa kata independen/swadaya secara sungguh-sungguh dimaknakan sebagai sebuah model usaha (bagi mereka yang mencari suatu yang komersil) dan moda produksi (bagi mereka yang mencari suatu yang idealis). Akhir kata, keberhasilan untuk menciptakan masyarakat yang siap untuk pindah dari ranah fisik ke ranah digital untuk membebaskan diri dari stagnansi inovasi merupakan isu yang sudah sangat berbeda lagi, sebuah isu yang memerlukan mobilisasi media massa dan perubahan habitus masyarakat secara umum.
-Andaru Pramudito Suhud
(kritik & saran yang lebih personal: andaru_pramudito@yahoo.com)

1 comments on "HAKI Dan Problema Inovasi Reproduksi Kultural dalam Industri Musik."
Saya mau tanya menurut sampeyan reproduksi kultural itu apa ya? apakah menghadirkan kembali karya-karya sastra lawas yang sudah jarang didengar, atau dilihat orang contoh puisi, kemudian dipadupadankan dengan salah satu genre musik misal hiphop, kemudian dapat membawa energi baru baik untuk karya sastra tadi maupun hiphop itu sendiri, serta dapat memudahkan khalayak umum yg mendengarkannya karena sudah dibalut dengan dentuman/beat yg mudah diingat (easy listening), apakah termasuk reproduksi kultural?terima kasih banyak :D
Post a Comment