Pernahkah sesekali anda merasakan kelaparan, namun terlampau jengah dengan pilihan menu makanan yang terjejer manis dalam setiap etalase pusat perbelanjaan? Jika ya, mungkin keadaan anda tidak jauh beda sama dengan saya yang tengah lapar akan eksperimen musik sederhana yang sudah semakin pudar dalam hingar bingar ‘bisnis musik’ Indonesia.
Keroncong, perkawinan musik fado asal Portugis yang terdampar didaratan Malaka dan dimaikan oleh para budak dari Maluku saat mereka lelah bertani. Musik ini makin berkembang di wilayah Nusantara dan diracik dengan apik hingga muncul gamelan serta seruling dalam komposisi musiknya. Hasilnya cukup unik, kawin silang ini menghasilkan bunyi “crong-crong-crong” yang dominan dari alat musik Prounga dan Marcina yang saling bersahutan hingga akhirnya musik ini dinamakan Keroncong.
Musik ini memiliki ciri khas di telinga masyarakat Nusantara. Harmoni yang tercipta membuat penikmat musik keroncong merasakan nuansa damai yang sederhana. Keroncong menjadi simbol ‘musik yang merakyat dan menyatukan seluruh kelompok sosial’ pada tahun ’70-an. Namun semakin berkembangnya jenis musik di Indonesia dan celakanya mulai timbul gejala pengkotakan genre musik, maka musik Keroncong pun perlahan-lahan mulai tergeser eksistensinya. Penikmatnya pun semakin meranggas, hanya komunitas-komunitas kecil saja yang mampu memberi nutrisi pada musik ini sebelum Keroncong benar-benar layu dari selera musik masyarakat.
Ketika saya menonton film ‘Rumah Dara’ dan mendengar salah satu pengisi soundtrack-nya yang berjudul ‘Cinta Matiku’ oleh Zeke Kaseli, saya langsung menemukan menu santapan musik yang sudah sekian lama saya rindukan. Musik keroncong yang kental namun sederhana begitu melegakan di tengah maraknya musik mainstream yang menghajar gendang telinga saya bertubi-tubi setiap hari.
Mulai dari hari itu, saya menemukan santapan segar yang mengisi kejenuhan menu musik saya. Saya mulai mencari lagi lagu-lagu keroncong yang nenek dan kakek saya dahulu sering dendangkan saat mereka sedang berkencan. Dan ternyata musik ini tidak seusang yang saya pikirkan, justru inilah harta karun yang kurang berani masyarakat Indonesia angkat dalam bursa musik Indonesia. Sudah saatnya kita mencari menu-menu klasik dan mengisi naluri anda dalam menikmati musik, hingga nantinya anda dapat bertanya pada diri anda sendiri: Masihkah saya ‘Keroncongan’?
Selamat menikmati santapan anda hari ini,
Agrita Widiasari

3 comments on "Keroncong: Adakah Rasa Lapar di dalam Naluri Bermusik Anda?"
waw! review musik yg dari pada yg lain
tenang saya termasuk generasi muda yg menggemari keroncong! saya biasa mendengarkan musik ini kalau hendak tidur
merupakan salah satu musik yg ber"Skill" tinggi dengan harmonisasi antara para pemain instrumennya serta cengkok vokalisnya.
saran : anda review juga Embah Gesang : Sang Maestro Keroncong kebanggan Indonesia yang sangat terkenal bahkan keluar negeri terutama jepang.
salah satu musik yang cukup unik dan mempunyai tingkat kesulitan sendiri
saya juga mulai suka mendengarkan keroncong setelah sang maestro embah gesang wafat dan setelah menonton acara tribute to gesang di tvone
review juga dong musisi2 keroncong seperti embah gesang,mus muliadi dll. ok!
Salam Keroncong!
Minggu lalu,saya beli CD Keroncong Tempo Doeloe di MPlz,hm...sangat menyejukan mendengar iramanya dan coba perhatikan liriknya sangat santun.Ada ciptaan Gesang, Ismail Marzuki, dll. Cocok banget untuk menghilangkan kebosanan dan sejenak menjauh dari rutinitas warna lagu sehari-hari, ga percaya? Silahkan coba!
Post a Comment